Tragedi
Besar: Karakter Korup sudah Menjebol sampai Level Ketua MK Akil Mochtar
Apalagi yang kurang dari ‘prestasi’ bangsa kita? Eksekutif
korup, Legislatif korup, Yudikatif juga korup. Trias Coruptia. Patut
diingat bahwa ‘prestasi’ ini juga makin dilengkapi dengan kasus penyelewengan
yang dilakukan oleh seorang Guru Besar ITB beberapa waktu yang lalu (baca lebih
jauh: Kasus
SKK Migas Rudi Rubiandini: Dosen ITB Teladan Mafia Migas), jadi makin lengkap setelah ditambah
kenyataan kalangan akademis juga bisa korup. Tragedi paling terakhir yang
melibatkan ketua MK Akil Mochtar amat menyesakkan. Sedemikian percayanya
rakyat selama ini dengan Mahkamah Konstitusi, justru pengkhianatan yang di
dapat. Logikanya: kalau ketua MK nya saja sudah korup, bagaimana anak buahnya?
Bagaimana hakim-hakim kecilnya? Mahkamah Konstitusi kalau diibaratkan mungkin
seperti ‘tangan Tuhan’ di Indonesia, sebab pemutus tertinggi ada di level MK.
Bagaimana jadinya nasib bangsa ini kalau ‘tangan Tuhan’ sudah dikuasai mafia,
siapa lagi yang bisa dipercaya?
Tega
benar Ketua MK Akil Mochtar (kalau nanti terbukti)
berkhianat. Lulusan Universitas Padjajaran ini sudah keterlaluan, sumpah
serapah pun tidak cukup, dia harus dituntut hukuman mati. Harga mati. Menjadi
bagian dari mafia dengan kewenangan sedemikian besar, apa bedanya dengan
pengkhianat negara dan desertir? Menjual keputusan penting di tingkat peradilan
MK sama saja dengan menjual nasib bangsa ini, ini sama saja dengan melacurkan
Indonesia. Jelas sebuah kejahatan yang lebih biadab dari bandar narkotika,
patut dituntut sampai ke liang kubur. Betapa memalukan manusia ini, apa
tidak ada hal yang lebih halal untuk ‘dilacurkan’?
Tanggapan dan opini mengenai kasus diatas :
Korupsi
adalah kata yang lumrah terdengar di
Negara kita Indonesia ini, bagaimana tidak begitu banyaknya pejabat di Negara
kita yang terseret kasus korupsi. Hampir setiap hari media selalu membicarakan
kasus korupsi. Sedih memang jika dipikir moral Negara kita ini sudah rusak,
semua sudah gila akan kekuasaan dan materi. Ditambah lagi orang yang terlibat
korupsi tidak memandang pendidikan karena pejabat-pejabat yang terkena kasus
korupsi itu rata-rata berpendidikan tinggi yang seharusnya memiliki intelektual
yang cukup untuk memahami betul bahwa korupsi itu dapat merugikan diri
sendiri,bangsa dan orang lain. Disini saya akan membahas dan mengomentari
mengenai salah satu contoh kasus korupsi yang sempat menghebohkan seluruh
masyarakat Indonesia. Seorang ketua MK(Mahkamah Konstitusi) yang terlibat kasus
suap pilkada.
Sangat
miris bila membaca berita diatas seorang ketua Mahkamah Konstitusi terlibat
kasus korupsi karena menerima suap atas pilkada di kalteng. Mahkamah Konstitusi
yang notabene merupakan lembaga hukum tertinggi di Indonesia yang seharusnya
bersikap netral dalam pengambilan keputusan di setiap sidangnya namun faktanya
disini bertolak belakang, lembaga tertinggi hukum Negara ini yang seharusnya
dapat dipercaya oleh masyarakat namun justru memberikan kekecewaan yang sangat
mendalam dan mencoreng nama bangsa Indonesia di mata dunia. Bila institusi
tertingginya sudah korup bagaimana dengan yang dibawahnya, kepada siapa lagi
kini masyarakat harus percaya jika setiap keputusan dalam institusi hukum
tertinggi saja sudah dapat dibeli dengan uang.
Dalam kasus ini akil mochtar
selaku tersangka telah melanggar etika profesi sebagai hakim atau ketua MK. Menurut
yang saya baca di media online” tempo” ada 3 prinsip etika profesi yang
dilanggar oleh akil mochtar. Pertama, Akil ke Singapura pada 21 September 2013
tanpa pemberitahuan ke Sekretariat Jenderal dan itu merupakan perilaku yang melanggar etika
prinsip keempat, yaitu kesopanan dan kepantasan. Kemudian perilaku Akil yang
tidak mendaftarkan mobil Toyota Crown Athlete ke Ditlantas, mengadakan
pertemuan dengan anggota DPR CHN di ruang kerja hakim, menggunakan kewenangan
sebagai Ketua MK dalam menentukan pendistribusian perkara, memerintahkan
sekretaris Yuanna Sisilia dan sopir Daryono dalam melakukan transaksi,
ditemukannya narkoba di ruangan kerjanya, serta penerimaan dana dari STA--
kuasa hukum pihak yang beperkara-- dianggap merupakan pelanggaran prinsip
ketiga: integritas hakim konstitusi. Dan yang terakhir Dalam poin pertimbangan
juga disebutkan bahwa perilaku Akil Mochtar yang saat masih menjabat Ketua MK
memerintahkan secara langsung kepada panitera untuk menunda putusan tanpa
persetujuan rapat permusyawaratan hakim dianggap melanggar prinsip kedua:
ketakberpihakan.
Sumber :
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer